Pemilu merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis. Karena melalui Pemilu sebuah pemerintahan ditentukan dan dipilih secara langsung oleh rakyat untuk mendapatkan mandat mengurus bangsa dan negara ini demi kesejahteraan bersama. Disebut sebagai pilar demokrasi, karena pemilihan umum seperti ini tidak akan pernah dijumpai dalam sebuah negara monarki atau kerajaan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, secara teoritis, tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam sebuah negara adalah:
1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
2. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.
Begitu pentingnya kehadiran sebuah pemilihan umum tersebut, maka para ahli sepakat untuk memasukkan elemen Pemilu menjadi salah satu ciri pemerintahan yang demokratis, selain ciri-ciri yang lain seperti penegakan HAM, Supremasi hukum, dll.
Kalau begitu rumusannya, maka Pemilu bukan hanya sesuatu yang penting tetapi menjadi wajib adanya. Karena siapapun yang akan duduk diparlemen sebagai kepanjangan tangan masyarakat haruslah mempunyai legitimasi yang ditunjukkan dengan seberapa besar pilihan rakyat dalam Pemilu dijatuhkan kepada dirinya. Sehingga, setiap satu suara dari setiap pemilih merupakan hal yang sangat berharga yang akan menentukan masa depan sebuah bangsa.
Harapannya, Pemilu nanti akan menjadi Pemilu yang jujur, adil dan demokratis sebagaimana asas yang melandasinya. Namun nampaknya harapan ini masih terlalu jauh untuk menjadi realitas konkret yang bisa diwujudkan, Karena yang terjadi di lapangan antara Das Sollen dan Das Sein saling bertolak belakang.
Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan, menyaksikan dan mendengar dari mass media cetak maupun elektronik begitu banyaknya pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh partai politik (Parpol) maupun oleh calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mulai daripelanggaran administrasi hingga pelanggaran Pidana Pemilu. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kacau balaunya akurasi penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur yang hingga saat ini masih menjadi polemik bahkan ada kecenderungan kekacauan penetapan DPT ini telah melebar luas tidak hanya terjadi di Jatim, tetapi hampir diseluruh nusantara
Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, pemakaian atribut parpol oleh Pengawai Negeri Sipil (PNS) sampai pada mengikut sertakan anak-anak pada acara-acara kampanye dimana hal tersebut sesungguhnya telah jelas-jelas dilarang dan melanggar Undang-undang Pemilu. Bahkan awal pembukaan kampanyepun, yang digagas oleh beberapa parpol untuk melakukan ikrar dan deklarasi bersama untuk kampanye damai, justru yang terjadi sebaliknya dibeberapa tempat, kampanye perdana Pemilu tersebut banyak diwarnai aksi anarkis dan bentrokan. Bahkan ironisnya lagi, tidak jarang parpol dalam berkampanye banyak mengundang para artis dan penyanyi yang tidak jarang pula menampilkan sesuatu yang menurut Undang - undang Pornogafi
masuk kategori porno aksi dan pornografi. Dibilang ironis, karena parpol, khususnya mereka yang saat ini mempunyai kursi diparlemen, dan lebih khusus lagi parpol yang mendukung kelahiran Undang-undang Pornografi ini justru mereka sendiri yang melanggarnya.
Tulisan ini ingin membahas lebih jauh tentang apa sajakah macam-macam pelanggaran Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum dan bagaimana cara penyelesaian atas pelanggaran dan sengketa Pemilu tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar